Perekonomian
Indonesia 2014
Tahun
2014 merupakan tahun pemulihan dan stabilisasi ekonomi akibat fenomena
kebangkrutan Lehman Brothers pada tahun 2008 serta krisis Eropa di Yunani pada
tahun 2012. Untuk mengatasi fenomena krisis yang menimbulkan kepanikan pasar
finansial global khususnya di Eropa dan AS tersebut, Amerika Serikat membuat
sebuah kebijakan ekonomi yang tidak lazim yakni kebijakan Quantitative
Easing. QE adalah
salah satu kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara guna
meningkatkan jumlah uang beredar (money supply) di pasar.Kebijakan ini
dilakukan antara lain dengan memangkas bunga menjadi 0,25% bahkan 0,1%,
mencetak uang lebih banyak, serta dengan menyuntikkan likuiditas kepada Emerging
Markets (EM). Kebijakan QE tersebut menyebabkan kelebihan likuiditas
yang membuat pasar Amerika tidak dapat menyerap uang yang beredar. Hal tersebut
membuat para investor lebih tertarik untuk mengalihkan dananya dari negara maju
ke negara Emerging Markets (EM) sehingga menimbulkan euforia sementara
kepada negara-negaraEM yang kebanyakan adalah negara berkembang.
Akan
tetapi, selama periode 2008-2012, stimulus moneter QE yang diharapkan akan
mendorong aktivitas perekonomian tersebut justru membawa efek samping, yakni
menimbulkan dampak spekulatif (search for yield) dimana investor keluar
dari aset finansial dgn yield rendah (mata uang, obligasi) ke aset yang
lebih spekulatif (saham, HY bonds, komoditas, dsb.) serta menimbulkan fear
effect yakni ketakutan akan inflasi yang mendorong investor ritel beralih
ke aset riil (emas, properti, dsb.). Dampak ketiga yang ditimbulkan QE adalah
dampak crypto-currency termasuk bitcoin yang merupakan
peningkatan permintaan akan aset serupa uang yang aman dari manipulasi bank
sentral.Akan tetapi, diluar semua efek samping spekulan tersebut, quantitative
easing tetap berjasa membawa pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
dari angka minus 2,6% (2009) menjadi positif 1,7% (2013). Begitu pula dengan
pertumbuhan ekonomi dunia juga mulai membaik dari angka minus 0,7% (2009)
menjadipositif 2,7% (2013).
Kebijakan
Quantitative Easing yang dirasa cukup berhasil memulihkan ekonomi global
tersebut ditakutkan hanyalah pemulihan semu (liquidity traps) bagi
ekonomi dunia, yakni semakin tergantungnya negara-negara EM terhadap pinjaman
dana negara asing dengan bunga rendah dan ditakutkan skenario krisis ekonomi
dunia akan berulang. Selain itu, kebijakan debt ceiling (pembatasan
hutang) per 7 Februari 2014 juga menimbulkan tantangan lain. Ancaman krisis
seperti yang terjadi di Eropa pada tahun 2007 lalu juga membayangi Prancis
dengan indikator perekonomian yang tumbuh lamban serta tingginya pengangguran
(12,1%) per Oktober 2013. Adanya deflationary environment (turunnya
inflasi sebesar 0,6%) membuat masyarakat Eropa semakin menunda pembelian barang
dan dikhawatirkan akan semakin menurunkan aktivitas ekonomi. Masalah di negara
China juga membawa tantangan global tersendiri. Antara lain dengan rencana
kenaikan pajak di China per April 2014, lemahnya konsumsi, lambatnya
pertumbuhan ekonomi, tumpukan utang pemda, aktivitas shadow banking,
krisis likuiditas perbankan, serta bubble property di beberapa wilayah
China bagian Timur. Di wilayah India, juga memiliki masalah ekonomi yang hampir
serupa dengan Indonesia, yakni maraknya serangan spekulan. Inflasi yang terjadi
di India sangat tinggi, yaitu 11,5% dengan defisit transaksi berjalan di atas
4,2% terhadap PDB per September 2013.
Oleh
karena itu, pada pertengahan tahun 2013, ketika ekonomi AS dan dunia mulai
membaik, angka pengangguran menurun menjadi 6,7% serta angka inflasi yang
rendah yaitu 1,5%, mendorong FED melakukan tapering setahap demi
setahap. Tapering dilakukan dengan mengurangi suntikan likuiditas
sebesar US$ 10 M/ bulan sehingga menimbulkan dana mengalir keluar dari EM
menuju negara maju sebesar US$ 7,8 M untuk ekuitas dan US $ 2,0 M untuk
obligasi (per Agustus 2013)karena investor khawatir akan terjadi colapse
di negara EM. Mulai bulan Januari 2014, QE akan dikurangi setiap bulan sebesar
10 M hingga pada akhir tahun 2014 akan menjadi 0. Meskipun secara global IMF
memprediksikan dengan adanya tapering akan semakin memulihkan ekonomi
negara maju sehingga prognosa pertumbuhan ekonomi global meningkat dari angka
2,9% (2013) menjadi 3,6% (2014), tetap ada beberapa negara yang merasakan
dampak atas financial outflow tersebut, khususnya negara-negara EM
sehingga suntikan dana investasi luar negeri menjadi berkurang. Negara yang
merasakan dampak langsung atas adanya tapering ini antara lain
Indonesia, India, dan Brazil.
Isu
revolusi shale gas di Amerika Serikat cukup menimbulkan keresahan bagi
negara-negara Emerging Markets (EM). AS telah menemukan sebuah teknologi
baru pengeboran minyak yaitu teknologi fracking dimana pengeboran
tersebut bisa menembus bebatuan keras sehingga produksi minyak yang dihasilkan
AS akan jauh lebih meningkat. Pada tahun 2030, AS diperkirakan akan menjadi
negara net exportir minyak mengalahkan Arab Saudi. Teknologi tersebut
tentu saja akan ditiru oleh negara-negara lainnya sehingga supply energi
dunia (minyak dan batu bara) akan semakin melimpah dan harga minyak bumi &
komoditas lainnya akan semakin anjlok. Bagi negara-negara pengekspor komoditas,
tentu saja hal tersebut akan menjadi pukulan telak karena nilai ekspor akan
semakin menurun dengan menurunnya harga komoditas. Pada akhirnya akan berdampak
pada neraca perdagangan negara pengekspor komoditas serta dapat menyebabkan
defisit neraca perdagangan yang semakin besar jika tidak diambil langkah
pengamanan lebih lanjut.
Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2014
Perekonomian
Indonesia memiliki kasus yang hampir mirip dengan negara India, yaitu maraknya
serangan spekulan serta defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan
pada tahun 2013 telah mencapai angka 3,5%. Akan tetapi, jika keadaan ekonomi
dan konsumsi/impor dapat ditekan untuk tahun 2014 maka defisit hanya akan
mencapai angka 2,8%. Keadaan defisit neraca tersebut sebenarnya sudah
berlangsung sejak tahun 1997.Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu berubahnya
negara Indonesia menjadi negara net oil importir sejak tahun 2003
setelah dulunya Indonesia adalah negara net oil exportir. Alasan kedua
adalah sebelum terjadinya krisis moneter, setiap kali terjadi defisit, negara
Indonesia selalu di-supply dana oleh IGGI/CGI. Semenjak pertumbuhan
ekonomi Indonesia mulai membaik dan Indonesia digolongkan sebagai negara
menengah, pinjaman CGI/IGGI sekarang lebih bersifat komersiil. Kini, dengan
adanya kedua faktor tersebut, Indonesia semakin tertekan. Ditambah dengan hasil
ekspor yang kurang mencukupi, cicilan imbal hasil yang tinggi, serta
meningkatnya subsidi.
Kondisi
defisit neraca perdagangan tersebut diperparah dengan berubahnya life style masyarakat
Indonesia. Terlebih saat periode menurunnya tingkat suku bunga BI Rate
di Indonesia, tingkat konsumsi semakin menjadi-jadi karena banyaknya masyarakat
yang mengambil kredit untuk barang konsumsi. Padahal, sebagian besar barang
konsumsi kita (misal alat-alat elektronik, makanan di restoran, pakaian, dsb.)
adalah barang impor. Jika konsumsi Indonesia tidak ditekan, impor negara
Indonesia tidak akan sanggup mengimbangi ekspor luar negeri dan pada akhirnya
defisit neraca perdagangan akan semakin besar.
Sebenarnya
Indonesia pernah mengalami masa kejayaan setelah mengalami keterpurukan akibat
krisis moneter tahun 1997-1998. Jika Indonesia menengok ke arah 5 tahun ke
belakang (2008-2012), dapat dikatakan bahwa lima tahun lalu adalah lima tahun
penuh kelimpahan (5 years of plenty). PDB kita terus menguat dari 6,0%
menjadi 6,5%, BI rate menurun dari 9,5% menjadi 5,75%, dan menguatnya
Rupiah. Kondisi kejayaan tersebut disebabkan oleh booming-nya komoditas
Indonesia (harga barang-barang komoditas naik sehingga hasil ekspor tinggi)
serta inflow modal (banjir likuiditas akibat QE). Akan tetapi, dengan
tidak adanya reformasi stuktural yang meliputi pembenahan infrastruktur,
produktivitas, serta pasar tenaga kerja, menyebabkan kondisi kelimpahan
tersebut kembali ke kondisi normal pada tahun 2013. PDB yang terus menurun
menjadi +/- 5%, BI rate terus meningkat hingga mencapai angka 8%, serta
imbal hasil SUN 10Y yang mencapai >8% semakin menambah beban negara. Lalu
bagaimanakah kondisi masa depan ekonomi Indonesia jika kebijakan struktural/
reformasi pemerintahan yang baru tidak segera mengambil langkah
preventif?Terlebih di tengah tekanan isu US tapering serta revolusi
shale gas Amerika yang otomatis menurunkan harga komoditas dunia.
Menengok
kondisi Indonesia saat ini yang dapat dikatakan menurun dibandingkan lima tahun
lalu, serta kekhawatiran akan kondisi masa depan, maka perancangan sistematis
pembangunan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Semenjak GBHN dihapuskan,
negara Indonesia mengalami kebingungan arah pembangunan sebab saat ini
Indonesia hanya bergantung pada RJP. Seharusnya Indonesia meniru negara China
dan Korea yang telah membuat perencanaan negaranya hingga 20 tahun ke depan. Di
negeri Korea, industri alat-alat berat awal mulanya dibangun sehingga sesuai
prediksi, akhirnya industri elektronik bisa berkembang. Korea juga membuat
perencanaan melalui sosial budaya, yaitu budaya K-POP yang telah menyerbu
negara lain hingga Jepang. Pada akhirnya budaya K-POP ini berpengaruh kepada
ritel Korea (Cloth Mark).
Kondisi
keterpurukan Indonesia akibat tapering USA tersebut memang membawa
dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tahun 2013 Indonesia menjadi
negara dengan perekonomian terburuk di Asia serta nomor 2 di dunia setelah
Argentina dan Peso.
Langkah Kebijakan Ekonomi Indonesia
Tahun 2014
Setelah
sejenak kita melihat perbandingan pembangunan ekonomi Indonesia dengan negara
lain, sekarang kita lihat langkah kebijakan apa saja yang telah diambil oleh
Indonesia sebagai langkah preventif untuk mengurangi defisit neraca berjalan
pada tahun 2014. Menurut Gubernur BI, bagaimanapun juga, ekspor Indonesia tidak
akan dapat ditingkatkan karena hal tersebut di luar kendali Indonesia. Harga
barang komoditas sangat terancam oleh prospektus revolusi shale gas di
USA. Terlebih adanya larangan ekspor atas beberapa logam antara lain nikel dan
bauksit, tentu saja membuat neraca perdagangan Indonesia semakin minus. Dari
perhitungan didapatkan bahwa pelarangan ekspor atas nikel dan bauksit itu
sendiri menyumbang defisit sebesar 0,2%.
Oleh
karena itu, jalan satu-satunya yang diambil oleh Gubernur BI adalah dengan
menekan pola konsumsi masyarakat yang kebanyakan merupakan konsumsi
barang-barang impor. Cara pertama adalah dengan menaikkan Pajak Penghasilan
atas impor sebagaimana secara eksplisit telah terlihat pada PMK-175/PMK.011/2013,
bahwa impor baik dengan API maupun tanpa API atas barang-barang tertentu
(sebagian besar barang-barang konsumsi), tetap dikenakan tarif 7,5% (sebelumnya
impor barang dengan API hanya dikenakan tarif 2,5%. Langkah kedua adalah dengan
meningkatkan PPnBM atas impor barang-barang yang tergolong lux, misalnya
gadget, smartphone, dsb. Langkah selanjutnya adalah dengan menurunkan
nilai tukar rupiah terhadap dollar. Saat ini rupiah telah berkisar di antara
level Rp11.000 hingga Rp12.000, padahal sebelumnya hanya berkisar pada level
Rp8.500,-. Diperkirakan rupiah akan terus ditekan hingga mencapai level
Rp12.500 pada akhir semester kedua tahun 2014 ini dengan harapan pola konsumsi
masyakat juga dapat ditekan. Kebijakan selanjutnya yang diluncurkan BI adalah penurunan
jumlah kredit. Tahun lalu BI memberikan prediksi pertumbuhan kredit yang
digelontorkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 25%. Akan tetapi pada tahun
2014 ini, BI menurunkan prediksi pertumbuhan kredit menjadi 15%.
Terkait
dengan adanya ancaman tapering USA, yield SUN Indonesia tertekan
hingga mencapai level 8% ke arah 9%, padahal sebelumnya sempat mencapai angka
10-12%. Hal tersebut sebagian besar juga disebabkan oleh berkurangnya inflow
modal akibat semakin ketatnya Quantitative Easing.
Selain
itu, kondisi cuaca yang tidak mendukung pada awal tahun 2014 ini tentu saja
mempengaruhi kondisi perekonomian negara Indonesia. Diperkirakan akibat
meluasnya banjir, barang-barang konsumsi akan semakin langka sehingga akan
terjadi inflasi sebesar 8,4%. Akan tetapi akan inflasi tersebut akan turun ke base
5%-6% pada bulan Juni ketika cuaca mulai membaik.
Beberapa
faktor utama yang memperburuk perekonomian Indonesia adalah belum jelasnya
aturan mengenai daftar negara yang boleh dan tidak boleh berinvestasi di
Indonesia sehingga membuat investor menjadi enggan untuk berinvestasi di
Indonesia. Kemudian kebijakan LTV (Loan To Value) yang lebih memperketat
penyaluran kredit untuk otomotif serta rumah kedua dst. membuat pertumbuhan
sektor properti dan otomotif sedikit melamban. Adanya kesenjangan UMR antara
daerah dengan Jakarta membuat banyaknya tenaga kerja yang berpindah ke kota
serta memicu relokasi pabrik-pabrik di daerah. Pada akhirnya, tenaga kerja yang
tidak berpindah akan mengalami kehilangan pekerjaan sehingga ancaman kredit
macet properti akan meningkat akibat meningkatnya pengangguran.
Akan
tetapi, di tengah faktor penekan ekonomi Indonesiasebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya pada awal-awal tahun 2014, diharapkan diakhir tahun 2014
perekonomian Indonesia akan membaik. Setidaknya hal tersebut tertolong oleh
diselenggarakannya Pemilu 2014. Pemilu bisa menjadi katalis positif bagi
konsumsi dalam negeri, produktivitas industri, tenaga kerja, serta membawa
harapan baru bagi investor untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia
sehingga efek negatif tapering dapat dihindari.
Faktor-faktor
positif lainnya yang juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia
adalah adanya sektor dollar earner misalnya konsumsi, transportasi,
pariwisata. Selain itu daya beli masyarakat yang tinggi akibat meningkatnya UMR
juga dapat menjadi stimulus untuk konsumsi dalam negeri. Kenaikan suku bunga
pada level 8% akan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Ditambah dengan
adanya wacana subsidi BBM yang tetap sehingga risiko fiskal menjadi rendah,
mampu menambah rating Indonesia di mata investor.
Akhirnya,
dengan menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah serta
faktor-faktor positif dan negatifnya, analis ekonom Indonesia optimis bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat 0,2% dari realisasi pertumbuhan
ekonomi tahun, yaitu menjadi 5,8% dari angka 5,6%. Salah satu penyebab utama
peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2% tersebut adalah adanya katalis
Pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya konsumsi besar-besaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar